Refleksi Cinta & Ketulusan
Air mataku mengalir,
ketika benakku bertanya,
“Bisakah aku sampai di titik itu?”
Titik di mana cinta terasa utuh, dihargai, dimuliakan.
Sudah memberi dengan tulus, bersikap hangat, mencoba memahami…
Tapi tetap saja, yang datang bukan cinta yang menetap,
melainkan luka yang datang lalu pergi begitu cepat.
Aku pun bertanya-tanya,
“Masih pantaskah aku berharap cinta yang seperti orang-orang punya?”
Sedang aku tahu diriku penuh cela,
dosaku pun tak terhitung banyaknya.
Tuhan saja mungkin muak padaku,
lalu bagaimana mungkin manusia akan bertahan mencintaiku?
Namun perlahan, aku mulai sadar…
Tuhan tak mencintai karena kita suci.
Tuhan mencintai karena kita hamba.
Dan Dia tahu, hamba-Nya akan kembali meski tertatih, meski penuh luka.
Saat kita merasa paling lemah, paling tidak layak,
di situlah kasih-Nya paling dekat.
Merengkuh dengan hangat,
dan memberi kesempatan untuk pulang.
Tuhan tak pernah menutup pintu-Nya lebih dulu.
Seringkali, hanya kita yang terlalu malu untuk mengetuk.
Cinta manusia tak lahir dari kesempurnaan,
tetapi dari keberanian untuk tetap tinggal meski luka itu nyata,
dan memilih saling merawatnya.
Kita tidak bernilai karena sempurna.
Kita bernilai karena terus tumbuh,
dan itulah hal paling layak untuk dicintai.