“Beberapa rasa tidak benar-benar hilang, mereka hanya belajar diam dalam kenangan.”
Hari ini, di balik senyum dan tawa yang kubagikan pada sekitar, ada perasaan yang tak bisa kusembunyikan.
Meski terlihat bahagia dan perlahan bangkit, rasa itu nyatanya masih ada. Harapan itu masih mengikat, meskipun aku sudah berusaha melepaskan.
Seringkali, bahkan dalam kebersamaan dengan orang lain, pikiranku justru melayang pada banyak hal yang ingin kulakukan bersamamu.
Aku belum sempat memiliki impian besar tentang kita—hanya hal-hal kecil yang sederhana: berkendara menyusuri kota, menertawakan hal receh, dan saling berbagi apa yang kita tahu.
Mungkin terdengar klise, seperti hal biasa yang dilakukan manusia berpasangan.
Meski begitu, nyatanya melakukan hal itu bersamamu telah pupus.
Ada ruang yang tetap kosong, meski telah kucoba penuhi dengan banyak hal.
Ada diam yang terdengar nyaring dan perih, sebab itu adalah gema dari satu-satunya suara yang tertinggal—kenangan tentang kita.
Ingin sekali aku bertanya: apakah kamu juga masih menyisakan ruang untuk kenangan itu?
Apakah janji diam-diam yang tak sempat terucap itu masih ada dipikiranmu?
Atau hanya aku, yang masih memeluk bayang-bayang itu sendirian?
Nyatanya, pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah monolog.
Sebuah perbincangan dalam hati yang kujadikan tulisan—
Sebagai tanda bahwa perasaan itu pernah tumbuh, meski tak sempat hidup lebih lama.
Seperti katamu kala itu, waktu akan terus berjalan, tak peduli kamu sedih atau senang.
Dan ya, begitulah hidup harus terus dilanjutkan.
Aku tidak tahu kapan rasa ini akan benar-benar luruh.
Namun untuk saat ini, aku membiarkan diriku berduka dan terluka agar perlahan bisa melupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar