Selasa, 06 Mei 2025

Yang Terpendam

Untuk Kak D

Untuk Kak D

Entah usai atau belum, harapku hanya tulisan ini akan sampai.

Hari ini aku ingin bercerita tentang seseorang yang aku temui sepuluh tahun yang lalu.
Aku percaya, perkenalan kami bukan kebetulan. Semesta sepertinya sudah mengaturnya dengan begitu rapi. Waktu itu tahun 2015, dan sangat jarang ada orang yang bisa bertemu di aplikasi Line tanpa saling mengenal lebih dulu. Tapi kami dipertemukan.

Awalnya, dia bertanya padaku, “Kamu punya kakak?”
Aku jawab, “Enggak, aku anak pertama.”
Lalu dengan santai dan hangat dia berkata, “Kalau begitu, aku jadi kakakmu, ya?”
Dan aku mengiyakan. Sejak saat itu, aku memanggilnya dengan sebutan: Kak D.

Kehangatan itu berjalan begitu saja selama kurang lebih lima tahun. Semua terasa ringan, tulus, dan menyenangkan—sampai satu hari, tanpa pernah kusangka, Kak D mengutarakan perasaannya padaku.

Aku benar-benar tak menduganya. Selama ini, kupikir kami hanya dua orang yang saling mengisi dalam hubungan yang sederhana—kakak dan adik. Tapi Kak D saat itu tahu, aku sudah punya pasangan. Jika kutanggapi perasaannya, akan ada yang terluka. Tapi aku juga takut, jika kutolak, aku akan kehilangannya.

Akhirnya, aku memilih menolak dengan halus. Tapi ternyata, yang paling kutakutkan tetap terjadi. Dia perlahan menjauh. Menghilang dari seluruh media sosialku, seolah benar-benar ingin menghapus keberadaannya dari hidupku.

Waktu berlalu. Sampai suatu hari, aku memberanikan diri untuk menyapanya lebih dulu. Dan dari situ aku tahu, dia sudah menemukan perempuan lain.

Perasaanku campur aduk—ada bahagia, karena akhirnya dia menemukan seseorang. Tapi juga ada kehilangan yang diam-diam menyelusup di antara senyumku. Aku tahu, aku tidak bisa serakah. Aku belajar menerima bahwa dia berhak memilih untuk menutup komunikasi denganku. Dan dalam diamku, aku juga mengakui: perempuan yang dipilihnya jauh lebih baik dariku.

Seiring berjalannya waktu, perasaan kehilangan itu justru semakin nyata. Dan ketika hubunganku dengan orang baru—untuk kedua kalinya—tidak berjalan dengan baik, rasa bersalah itu tumbuh makin besar. Aku menyesal. Menyesal telah membiarkan Kak D pergi, menyesal karena tak bisa lebih jujur pada diriku sendiri saat itu.

Aku mencoba mencari jejaknya kembali di media sosial. Dan saat kutemukan, aku melihat kehidupannya sudah sangat baik bersama pasangannya. Dari jauh, aku bisa melihat bahwa mereka bahagia.

Pelan-pelan, aku mulai menghapus semua kenangan tentang Kak D. Bukan karena aku ingin melupakan sepenuhnya, tapi karena aku harus belajar menerima. Semakin banyak waktu yang kulewati, semakin aku menyadari: aku telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku.

Cerita ini belum usai.

Karena meskipun aku sudah mencoba merelakan, hatiku tetap menyimpan ruang kosong yang hanya bisa diisi olehnya. Bukan sebagai cinta yang ingin kumiliki kembali, tapi sebagai seseorang yang pernah begitu berarti—dan entah bagaimana, tetap berarti sampai hari ini.

Ada malam-malam ketika kenangan tentang Kak D datang diam-diam. Suaranya, caranya menasihatiku, caranya menyebut namaku—semua itu masih hidup di kepalaku. Kadang aku bertanya-tanya, apa dia pernah mengingatku juga? Apa aku pernah sebermakna itu baginya, seperti dia untukku?

Sampai akhirnya, untuk kedua kalinya, aku mengunjungi pesantren tempat Kak D dulu menuntut ilmu. Aku datang karena kebetulan. Namun dengan kesadaran penuh—aku mencari. Mencoba menemukan kembali sosok yang pernah begitu berarti dengan harapan kecil, mungkin bisa sekadar menyapa.

Di antara banyaknya manusia, aku menelusuri wajah demi wajah, berharap bisa menemukan sepasang mata yang pernah kulihat. Tapi aku gagal. Wajah itu tak kutemukan.

Bahkan jejak digitalnya pun menghilang sepenuhnya. Media sosial yang dulu menjadi jembatan kami pun kini tak lagi bisa diakses. Seolah semesta benar-benar ingin menyembunyikannya dariku.

Aku berdiri di tengah keramaian, tapi rasanya begitu sepi. Bukan karena tak ada orang, tapi karena seseorang yang kucari tak lagi bisa kutemui. Dan di saat itulah, aku benar-benar mengerti: mungkin, ini adalah bentuk lain dari perpisahan. Bukan yang diucapkan lewat kata, tapi yang ditunjukkan lewat takdir. Dan akhirnya, aku mulai belajar untuk kembali rela.

Aku tidak tahu bagaimana cara mengatasi rasa penyesalan yang begitu berat ini. Aku sudah mencoba mengucap maaf—pada diri sendiri, pada semesta, bahkan dalam hati kecilku, pada Kak D.

Tapi nyatanya, hari-hari setelahnya justru terasa makin sesak. Seolah setiap langkah yang kuambil selalu diiringi bayangan tentang "seandainya".

Aku tak berharap banyak lagi. Tapi aku juga tak bisa menyangkal bahwa pertemuan kami sepuluh tahun lalu mengubah hidupku. Mengajarkanku tentang hangatnya kedekatan yang tulus, dan pahitnya kehilangan yang tak sempat diselamatkan.

Dan meski aku mungkin tak akan pernah bisa menyapanya lagi, aku ingin dia tahu—jika suatu hari dia membaca ini:

Terima kasih, Kak D. Untuk segalanya. Untuk hadirmu, dan bahkan untuk kepergianmu. Kau pernah menjadi rumah yang hangat dalam hidupku. Dan meski kita tak lagi saling sapa, kau tetap tinggal dalam doaku.

Namun aku tahu, waktu tak bisa diputar ulang. Dan satu-satunya yang masih bisa kulakukan adalah mendoakannya—semoga dia terus bahagia, di manapun dan bersama siapapun ia sekarang. Semoga hidupnya dipenuhi hal-hal baik yang bahkan tak pernah sempat kuucapkan secara langsung padanya.

Sementara itu, aku juga sedang belajar menata ulang hidupku. Mencoba melangkah kembali, satu-satu. Dengan harapan yang jujur: semoga aku pun bisa bahagia, mungkin suatu hari nanti—lebih dari sebelumnya. Mungkin, bahkan lebih dari dirinya.

Karena pada akhirnya, cerita ini tak benar-benar tentang pertemuan atau perpisahan. Ini tentang bagaimana seseorang bisa begitu berarti, meski tak lagi hadir. Dan tentang bagaimana cinta, kadang hanya bisa bertahan dalam bentuk paling sunyi: doa.

Ditulis dengan kenangan yang belum selesai

Senin, 05 Mei 2025

monolog-3

Tulisan Tentang Kehilangan

Bab 1 — Saat Kehilangan Tak Pernah Sederhana

Ada satu individu yang memasuki hidup kita begitu dalam,

hingga saat perpisahan datang tanpa diduga,

rasanya seperti mencemooh seluruh kenangan bahagia yang pernah ada.

Ada yang menghadapi kenyataan itu dengan membanjiri diri dengan kesedihan,

ada pula yang memilih menghindarinya demi bisa terus melangkah.

Namun seiring berjalannya waktu,

entah kita menerima, menghindar,

atau berpura-pura tegar—

kenyataannya tetap sama:

tak ada satu pun cara yang pasti untuk mengatasi kehilangan,

tak ada rumus yang benar dalam menghadapi perpisahan.

Itulah yang aku sadari setelah kepergianmu.

Aku mengerti perasaanmu saat kehilangan dia begitu dalam—

ketika seseorang yang begitu berarti pergi selamanya,

meninggalkan ruang hampa yang tak mudah diisi.

Aku tahu, kau meninggalkanku bukan karena hatimu masih bersamanya yang telah berpulang.

Bukan karena kau ingin kembali ke masa lalu,

melainkan karena kenyataan bahwa dirimu mulai membaik tanpanya—

justru membuatmu merasa bersalah.

Dan aku, yang hadir di tengah pergulatan batinmu,

menjadi saksi, sekaligus korban dari konflik yang bahkan bukan milikku.

Kau mungkin menyadari bahwa menjemputku saat itu adalah keputusan yang terlalu cepat.

Meski aku tak datang sebagai pengganti,

ternyata mencintai seseorang yang belum sepenuhnya pulih dari duka

adalah seperti menanam benih di tanah yang belum pulih dari musim kemarau.

Jumat, 02 Mei 2025

monolog-2

“Beberapa rasa tidak benar-benar hilang, mereka hanya belajar diam dalam kenangan.”

Hari ini, di balik senyum dan tawa yang kubagikan pada sekitar, ada perasaan yang tak bisa kusembunyikan.
Meski terlihat bahagia dan perlahan bangkit, rasa itu nyatanya masih ada. Harapan itu masih mengikat, meskipun aku sudah berusaha melepaskan.

Seringkali, bahkan dalam kebersamaan dengan orang lain, pikiranku justru melayang pada banyak hal yang ingin kulakukan bersamamu.
Aku belum sempat memiliki impian besar tentang kita—hanya hal-hal kecil yang sederhana: berkendara menyusuri kota, menertawakan hal receh, dan saling berbagi apa yang kita tahu.

Mungkin terdengar klise, seperti hal biasa yang dilakukan manusia berpasangan.
Meski begitu, nyatanya melakukan hal itu bersamamu telah pupus.

Ada ruang yang tetap kosong, meski telah kucoba penuhi dengan banyak hal.
Ada diam yang terdengar nyaring dan perih, sebab itu adalah gema dari satu-satunya suara yang tertinggal—kenangan tentang kita.

Ingin sekali aku bertanya: apakah kamu juga masih menyisakan ruang untuk kenangan itu?
Apakah janji diam-diam yang tak sempat terucap itu masih ada dipikiranmu?
Atau hanya aku, yang masih memeluk bayang-bayang itu sendirian?

Nyatanya, pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah monolog.
Sebuah perbincangan dalam hati yang kujadikan tulisan—
Sebagai tanda bahwa perasaan itu pernah tumbuh, meski tak sempat hidup lebih lama.

Seperti katamu kala itu, waktu akan terus berjalan, tak peduli kamu sedih atau senang.
Dan ya, begitulah hidup harus terus dilanjutkan.

Aku tidak tahu kapan rasa ini akan benar-benar luruh.
Namun untuk saat ini, aku membiarkan diriku berduka dan terluka agar perlahan bisa melupakan.