Untuk Kak D
Entah usai atau belum, harapku hanya tulisan ini akan sampai.
Hari ini aku ingin bercerita tentang seseorang yang aku temui sepuluh tahun yang lalu.
Aku percaya, perkenalan kami bukan kebetulan. Semesta sepertinya sudah mengaturnya dengan begitu rapi. Waktu itu tahun 2015, dan sangat jarang ada orang yang bisa bertemu di aplikasi Line tanpa saling mengenal lebih dulu. Tapi kami dipertemukan.
Awalnya, dia bertanya padaku, “Kamu punya kakak?”
Aku jawab, “Enggak, aku anak pertama.”
Lalu dengan santai dan hangat dia berkata, “Kalau begitu, aku jadi kakakmu, ya?”
Dan aku mengiyakan. Sejak saat itu, aku memanggilnya dengan sebutan: Kak D.
Kehangatan itu berjalan begitu saja selama kurang lebih lima tahun. Semua terasa ringan, tulus, dan menyenangkan—sampai satu hari, tanpa pernah kusangka, Kak D mengutarakan perasaannya padaku.
Aku benar-benar tak menduganya. Selama ini, kupikir kami hanya dua orang yang saling mengisi dalam hubungan yang sederhana—kakak dan adik. Tapi Kak D saat itu tahu, aku sudah punya pasangan. Jika kutanggapi perasaannya, akan ada yang terluka. Tapi aku juga takut, jika kutolak, aku akan kehilangannya.
Akhirnya, aku memilih menolak dengan halus. Tapi ternyata, yang paling kutakutkan tetap terjadi. Dia perlahan menjauh. Menghilang dari seluruh media sosialku, seolah benar-benar ingin menghapus keberadaannya dari hidupku.
Waktu berlalu. Sampai suatu hari, aku memberanikan diri untuk menyapanya lebih dulu. Dan dari situ aku tahu, dia sudah menemukan perempuan lain.
Perasaanku campur aduk—ada bahagia, karena akhirnya dia menemukan seseorang. Tapi juga ada kehilangan yang diam-diam menyelusup di antara senyumku. Aku tahu, aku tidak bisa serakah. Aku belajar menerima bahwa dia berhak memilih untuk menutup komunikasi denganku. Dan dalam diamku, aku juga mengakui: perempuan yang dipilihnya jauh lebih baik dariku.
Seiring berjalannya waktu, perasaan kehilangan itu justru semakin nyata. Dan ketika hubunganku dengan orang baru—untuk kedua kalinya—tidak berjalan dengan baik, rasa bersalah itu tumbuh makin besar. Aku menyesal. Menyesal telah membiarkan Kak D pergi, menyesal karena tak bisa lebih jujur pada diriku sendiri saat itu.
Aku mencoba mencari jejaknya kembali di media sosial. Dan saat kutemukan, aku melihat kehidupannya sudah sangat baik bersama pasangannya. Dari jauh, aku bisa melihat bahwa mereka bahagia.
Pelan-pelan, aku mulai menghapus semua kenangan tentang Kak D. Bukan karena aku ingin melupakan sepenuhnya, tapi karena aku harus belajar menerima. Semakin banyak waktu yang kulewati, semakin aku menyadari: aku telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku.
Cerita ini belum usai.
Karena meskipun aku sudah mencoba merelakan, hatiku tetap menyimpan ruang kosong yang hanya bisa diisi olehnya. Bukan sebagai cinta yang ingin kumiliki kembali, tapi sebagai seseorang yang pernah begitu berarti—dan entah bagaimana, tetap berarti sampai hari ini.
Ada malam-malam ketika kenangan tentang Kak D datang diam-diam. Suaranya, caranya menasihatiku, caranya menyebut namaku—semua itu masih hidup di kepalaku. Kadang aku bertanya-tanya, apa dia pernah mengingatku juga? Apa aku pernah sebermakna itu baginya, seperti dia untukku?
Sampai akhirnya, untuk kedua kalinya, aku mengunjungi pesantren tempat Kak D dulu menuntut ilmu. Aku datang karena kebetulan. Namun dengan kesadaran penuh—aku mencari. Mencoba menemukan kembali sosok yang pernah begitu berarti dengan harapan kecil, mungkin bisa sekadar menyapa.
Di antara banyaknya manusia, aku menelusuri wajah demi wajah, berharap bisa menemukan sepasang mata yang pernah kulihat. Tapi aku gagal. Wajah itu tak kutemukan.
Bahkan jejak digitalnya pun menghilang sepenuhnya. Media sosial yang dulu menjadi jembatan kami pun kini tak lagi bisa diakses. Seolah semesta benar-benar ingin menyembunyikannya dariku.
Aku berdiri di tengah keramaian, tapi rasanya begitu sepi. Bukan karena tak ada orang, tapi karena seseorang yang kucari tak lagi bisa kutemui. Dan di saat itulah, aku benar-benar mengerti: mungkin, ini adalah bentuk lain dari perpisahan. Bukan yang diucapkan lewat kata, tapi yang ditunjukkan lewat takdir. Dan akhirnya, aku mulai belajar untuk kembali rela.
Aku tidak tahu bagaimana cara mengatasi rasa penyesalan yang begitu berat ini. Aku sudah mencoba mengucap maaf—pada diri sendiri, pada semesta, bahkan dalam hati kecilku, pada Kak D.
Tapi nyatanya, hari-hari setelahnya justru terasa makin sesak. Seolah setiap langkah yang kuambil selalu diiringi bayangan tentang "seandainya".
Aku tak berharap banyak lagi. Tapi aku juga tak bisa menyangkal bahwa pertemuan kami sepuluh tahun lalu mengubah hidupku. Mengajarkanku tentang hangatnya kedekatan yang tulus, dan pahitnya kehilangan yang tak sempat diselamatkan.
Dan meski aku mungkin tak akan pernah bisa menyapanya lagi, aku ingin dia tahu—jika suatu hari dia membaca ini:
Terima kasih, Kak D. Untuk segalanya. Untuk hadirmu, dan bahkan untuk kepergianmu. Kau pernah menjadi rumah yang hangat dalam hidupku. Dan meski kita tak lagi saling sapa, kau tetap tinggal dalam doaku.
Namun aku tahu, waktu tak bisa diputar ulang. Dan satu-satunya yang masih bisa kulakukan adalah mendoakannya—semoga dia terus bahagia, di manapun dan bersama siapapun ia sekarang. Semoga hidupnya dipenuhi hal-hal baik yang bahkan tak pernah sempat kuucapkan secara langsung padanya.
Sementara itu, aku juga sedang belajar menata ulang hidupku. Mencoba melangkah kembali, satu-satu. Dengan harapan yang jujur: semoga aku pun bisa bahagia, mungkin suatu hari nanti—lebih dari sebelumnya. Mungkin, bahkan lebih dari dirinya.
Karena pada akhirnya, cerita ini tak benar-benar tentang pertemuan atau perpisahan. Ini tentang bagaimana seseorang bisa begitu berarti, meski tak lagi hadir. Dan tentang bagaimana cinta, kadang hanya bisa bertahan dalam bentuk paling sunyi: doa.